Mengawali hari dari sudut kota Palembang agak siang, sekitar pukul 09.30 WIB. Selanjutnya adalah sarapan, mandi, dan segera check out. Hingga akhirnya benar-benar memulai perjalanan dari hotel jam 11.00 WIB. Saya menginap di Hotel Indah yang terletak di Jalan Dempo 17 Ilir, tarif permalam untuk single bed Rp. 155000.
Sebetulnya tak ada niatan untuk "ngehotel", rencana sebelumnya adalah numpang tidur di Masjid Agung Palembang. Namun karena keterlambatan kereta yang sangat signifikan sampai Palembang terlalu malam. Maka pada saat melewati Masjid Agung Palembang suasana sudah sepi. Maka diputuskanlah untuk menghabiskan malam ditempat lain.
|
Kamar hotel |
Hari ini cuaca Palembang kurang bersahabat. Begitu keluar dari hotel saya sudah disambut oleh jalan aspal yang basah dan disertai beberapa genangan. Palembang semalam hujan lebat rupanya. Matahari pun masih malu untuk menampakkan diri, padahal sudah 6 jam ia terlambat berseri. Mudah-mudahan hari ini tidak hujan.
|
Rute menuju Ampera |
Tujuan pertama dan utama hari ini adalah maskot kota Palembang yang paling terkenal, Jembatan Ampera. Untuk menuju kesana dari hotel cukup berjalan kaki, sekitar 1,5 km melewati Jl. Kolonel Atmo dan Jl. Jendral Sudirman. Kondisi trotoar sepanjang jalan Jendral Sudirman cukup nyaman untuk para pejalan kaki.
|
Masjid Agung Palembang |
Setelah 15 menit berjalan terlihat lah sang maskot kota Palembang tersebut. Sebelum sampai disana saya menyempatkan diri untuk sekedar melihat-lihat di bunderan air mancur yang berada didepan Masjid Agung Palembang. Tak ada apa-apa disini, jadi saya langsung melangkah menuju tujuan awal.
Langit masih berwarna kelabu begitu saya sampai Ampera. Disini banyak yang menawarkan jasa perahu untuk menuju Pulau Kemaro atau hanya menyusuri Sungai Musi. Sampai akhirnya langkah saya terhenti di kolong Ampera. Sekedar beristirahat dan mengambil gambar.
|
Dermaga |
Puas mengambil gambar dari sudut tersebut, kaki saya kembali melangkah dengan mantap sembari menolak dengan halus beberapa tawaran para penyedia jasa perahu tersebut. Bergerak ke barat menyusuri pinggiran Sungai Musi. Sampai akhirnya terhenti didepan gerbang sebuah bangunan yang cukup unik.
|
Gerbang Museum SMB II |
Ternyata bangunan itu adalah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Kaki saya pun tertarik untuk mengunjunginya. Namun ini adalah hari minggu dimana setiap hari minggu museum ini tutup. Jadi saya hanya melihat-lihat di luar museum saja. Tak banyak yang bisa diceritakan dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II ini.
|
Museum SMB II |
Lanjut berjalan kearah barat, ada semacam alun-alun atau public area di pinggir Sungai Musi. Berhubung hari masih siang maka belum banyak orang yang menghabiskan waktu disini. Sesekali masih saja ada tawaran para penyedia jasa perahu datang. Namun semuanya saya tolak, karena saya harus mengunjungi Benteng Kuto Besak yang berjarak hanya selemparan batu dari pinggir Sungai Musi.
|
Tepi Musi |
Benteng Kuto Besak merupakan bangunan yang katanya dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang. Macam istana atau keraton sepertinya. Namun sekarang digunakan sebagai markas Kodam Sriwijaya. Karena sudah jadi area militer maka tidak sembarang orang bisa masuk, termasuk saya. Jadi diputuskan untuk melihat-lihat dan mengambil gambar dari luar benteng saja.
|
BKB |
Kembali kolong Ampera di tepi Sungai Musi, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Agak bingung mau kemana lagi. Sampai akhirnya saya terima tawaran salah satu penyedia jasa perahu untuk berkunjung ke Pulau Kemaro. Mereka menawarkan tarif Rp. 120000 / perahu PP, namun karena saya pergi sendiri saya tolak tawaran itu. Masih terlalu mahal bagi saya.
|
Tepi Musi |
Saya disarankan untuk menunggu bila saja ada rombongan yang ingin menuju kesana, sehingga ongkos perahu bisa lebih murah. Setelah setengah jam lebih menunggu akhirnya ada rombongan 1 keluarga dari Prabumulih yang hendak kesana. Saya pun dipersilahkan bergabung. Tak perlu buang waktu saya segera melangkahkan kaki naik ke atas perahu. Berangkat ke Pulau Kemaro.
|
Rumah tepi Musi |
Perahu yang saya tumpangi bukanlah perahu cepat. Jadi waktu tempuh akan lebih lama. Goyangan di atas perahu sendiri lebih terasa. Untungnya saya tidak mabuk. Diperjalanan kami melewati pabrik Pupuk Sriwijaya, dan juga perkampungan nelayan di tepian Sungai Musi. Banyak hal unik yang saya temui ditepi sungai ini, mulai dari pom bensin terapung, hingga rambu parkir untuk perahu.
|
Pulau Kemaro |
Sekitar 15 menit berjalan, tampaklah Pulau Kemaro, beserta pagodanya yang menjadi daya tarik utama. Pagoda tersebut memiliki 9 lantai, yang sayangnya tertutup untuk umum, sehingga pengunjung tidak diperkenankan naik ke lantai atas. Menurut seorang pengunjung, pagoda hanya dibuka pada perayaan Cap Go Meh, dan itupun hanya untuk kalangan terbatas.
|
Pagoda Pulau Kemaro |
Setelah selesai dengan pagoda, saya berkeliling untuk melihat-lihat isi pulau. Namun tak ada yang menarik disini selain pagoda tersebut. Maka saya putuskan untuk kembali menuju dermaga. Di dermaga sekedar mengobrol dengan bapak supir perahu, tak lupa membayar ongkos sebesar Rp. 40000 untuk pulang pergi.
|
Pabrik Pusri di kejauhan |
Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya keluarga dari Prabumulih tiba di dermaga. Ini tandanya kami harus meninggalkan Pulau Kemaro dan balik menuju Ampera. Cuaca semakin gelap. Langit yang tadinya kelabu berubah menghitam. Benar saja, di tengah perjalanan hujan turun dengan lebatnya. Akibatnya sampai Ampera jaket saya terasa lembab cenderung basah.
|
Dermaga pasca hujan |
Karena gerimis masih turun, maka diputuskan untuk menuju kolong Ampera lagi. Kebetulan disana ada halte Trans Musi. Saya bertanya kepada petugas Trans Musi untuk menuju ke Gelora Jakabaring. Namun ternyata transportasi kesana menggunakan jasa layanan ini sangat tidak efisien, butuh 3 kali transit. Maka niat ke Gelora Jakabaring saya urungkan.
|
Pasar 16 Ilir |
Gerimis akhirnya mereda. Saya melangkahkan kaki menuju Pasar 16 Ilir sekedar untuk membeli pempek mentah untuk oleh-oleh. Setelah mengelilingi pasar saya tidak menemukan pedagang pempek mentah, atau saya yang kurang teliti mencari. Hingga akhirnya saya putuskan untuk menuju Masjid Agung Palembang. Sudah masuk waktu ashar.
Sebelum saya memasuki masjid saya sekedar berkeliling sembari mencari ATM, dan penjual pempek basah tentunya. Ternyata saya berjalan terlalu jauh, saya menemukan ATM di Hotel Graha Sriwijaya. Dan untungnya tak jauh dari situ ada yang jual pempek mentah. Harganya paling murah @ Rp. 4000, saya pun membeli 30 pieces untuk dibawa pulang.
|
Perjalanan mencari pempek |
Hari sudah semakin sore, saya pun mengurungkan niat menuju Masjid Agung Palembang. Langsung saja menuju stasiun. Saya menggunakan becak sampai bunderan dekat Ampera dengan tarif Rp. 10000, dan dilanjut angkot warna kuning jurusan Kertapati dengan tarif Rp. 3000. Setengah jam kemudian sampai depan Stasiun Kertapati. Saya segera mencari rumah makan.
|
Stasiun Kertapati |
Setelah perut terisi dan menyiapkan bekal untuk makan di kereta, saya segera memasuki area stasiun. Kereta yang saya tumpangi berangkat pukul 20.00 WIB, jarum jam masih pukul 17.00 WIB. Maka saya menunggu kurang lebih 3 jam sampai Kereta Limex Sriwijaya diberangkatkan menuju Tanjung Karang untuk mengantar saya pulang.