Kereta Tawang Jaya yang saya tumpangi tiba di Stasiun Semarang Poncol disambut oleh lebatnya hujan. Melihat kondisi luar stasiun yang kurang kondusif, terlalu banyak penyedia jasa angkutan mulai becak hingga taksi, saya pun menunggu hujan di dalam area peron Stasiun Semarang Poncol.
|
Stasiun Semarang Poncol |
Sekitar 1 jam menunggu, intensitas hujan tak juga menurun. Diluar stasiun sudah agak sepi dari penyedia jasa angkutan yang tadi ramai. Akhirnya saya paksakan untuk keluar dan segera berjalan ke tujuan pertama saya, Tugu Muda. Dari Stasiun Semarang Poncol ke Tugu Muda berjarak sekitar 1,5 km melewati Jalan Imam Bonjol. Ditemani rintik hujan yang masih belum puas membasahi, saya berjalan ke arah barat daya selama kurang lebih 30 menit.
|
Etape 1 (Semarang Poncol - Tugu Muda) |
|
Tugu Muda dan Museum Mandala Bhakti |
Sesampainya di kawasan Tugu Muda matahari masih belum mau mengintip, namun hujan sudah puas rupanya. Dikawasan ini ada 3 bangunan yang menarik perhatian saya. Pertama Tugu Muda itu sendiri yang terletak di tengah bunderan, lalu ada Museum Mandala Bhakti disebelah selatan, dan yang terakhir yang akan saya kunjungi, Lawang Sewu.
|
Lawang Sewu |
Lawang Sewu merupakan bangungan peninggalan Belanda yang dulunya merupakan kantor pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. NIS merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak di industri jasa kereta api pada masa itu. Saat ini bangunan ini digunakan sebagai museum yang dikelola oleh PT. KAI.
|
Lawang Sewu |
Dalam komplek Lawang Sewu terdapat 5 gedung, namun yang bisa dikunjungi hanya gedung A, B, dan C. Sedangkan gedung D dan E masih dalam tahap renovasi. Untuk memasuki komplek Lawang Sewu pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp. 10000.
|
Denah Lawang Sewu |
Pertama memasuki komplek Lawang Sewu kaki saya lansung tertuju dan memasuki gedung C. Didalam terdapat gambar blue print rancangan Lawang Sewu beserta bahan baku untuk membuat gedung-gedung ini. Selain itu terdapat mesin wesel tua yang dulu digunakan untuk memindahkan laju kereta dari jalur satu ke jalur lain.
|
Blue print Lawang Sewu |
|
Mesin Wesel |
Selanjutnya sebelum memasuki gedung B saya melihat-lihat di area luar ruangan. Disini terdapat miniatur dari Lokomotif BonBon, yang mana merupakan cikal bakal dari Kereta Rel Listrik di Indonesia.
|
Si Bonbon |
Puas berkeliling diluar, kaki saya arahkan memasuki gedung B. Yang saya rasakan pertama pada saat memasuki gedung B adalah lembap, sesak, dan tentunya merinding. Mungkin karena pada saat itu saya hanya sendiri, dan tidak terlalu banyak "orang" yang berada dalam gedung ini.
|
Gedung B |
|
Koridor dalam gedung B |
Didalam gedung ini di display beberapa maket dari Lawang Sewu. Dan juga foto-foto yang menggambarkan sejarah perkereta apian dari abad 19 sampai saat ini. Sampai akhirnya diujung lorong yang lembab dan temaram saya menemukan sebuah keramaian kecil. Setelah dikonfirmasi ternyata itu adalah jalan masuk menuju ruang bawah tanah.
|
Lorong dalam gedung B |
Begitu masuk ruang bawah tanah yang saya rasakan sama seperti pada saat memasuki gedung B, namun bedanya disini harus ditambah kata "lebih" didepannya. Untuk masuk kesini pengunjung diharuskan membayar Rp. 30000 sudah termasuh sewa sepatu boot, senter, dan jasa pemandu.
|
Tempat uji nyali |
Ruang bawah tanah ini dulunya oleh Belanda diisi air, dimaksudkan untuk pendingin ruangan di gedung B. Namun pada saat pendudukan Jepang beralih fungsi menjadi penjara, tempat penyiksaan, hingga tempat eksekusi para tahanan dimana mayatnya dibuang di kali kecil yang mengalir dibelakang komplek Lawang Sewu.
|
Gedung A |
Tidak sampai setengah jam berkeliling ruang bawah tanah saya sudah puas, ditambah sesak napas dan sedikit pening. Saya kembali menyusuri lembapnya lorong ditengah gedung B. Sebetulnya gedung B masih bisa dieksplorasi dilantai 2, namun karena keterbatasan waktu maka saya urungkan. Sayapun melangkah ke gedung utama, gedung A.
|
Gedung A |
Aura di dalam gedung A yang saya rasakan lebih baik daripada gedung B. Disini dipamerkan bermacam-macam benda perkereta apian. Seperti mesin telegram, mesin pencetak tiket, telepon kuno, tiket kuno, semboyan-semboyan, dan lain-lain.
|
Mesin Telegram |
|
Tiket Edmondson |
Selain itu juga dipamerkan beberapa peta perkembangan jalur kereta api di Indonesia, yang sayangnya semakin tahun semakin menyusut. Ada pula foto-foto yang menggambarkan kondisi stasiun-stasiun di masa lalu.
|
Peta jalur KA |
|
Foto KA masa lalu |
Berjalan keluar kompleks tenyata ada sebuah lokomotif tua beserta gerbong pengangkut bahan bakarnya. Selain itu ada pula sebuah genta kereta api yang biasa dipasang diperlintasan sebidang rel kereta dengan jalan raya.
|
Lokomotif uap |
|
Genta perlintasan |
Cuaca Semarang kali ini sangat mendukung. Tidak hujan dan tidak panas. Matahari masih juga belum mau mengintip kota ini. Ini menguntungkan saya yang harus berjalan menuju destinasi kedua saya, Simpang Lima. Dari kawasan Tugu Muda menuju Simpang Lima berjarak sekitar 1,6 km ke arah Timur melewati Jalan Pandanaran. Trotoar sepanjang Jalan Pandanaran bersih, lebar, dan sudah diberi keramik, ini sangat mendukung para pejalan kaki. Walaupun agak licin karena habis diguyur hujan lebat.
|
Tugu Muda mendung |
Setengah jam berjalan tibalah saya di Simpang Lima. Kawasan ini merupakan pusat keramaian kota Semarang. Karena selain ada lapangan yang menjadi alun-alun, juga terdapat beberapa hotel dan mall juga terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Sejauh mata memandang kawasan ini tak ubahnya hanya lapangan yang dipenuhi pedagang-pedagang. Tak terlalu menarik menurut saya.
|
Etape 2 (Tugu Muda - Simpang Lima) |
Hari sudah semakin sore, waktu saya di kota ini semakin singkat. saya segera menuju destinasi ketiga saya, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Karena jarak dari Simpang Lima ke MAJT cukup jauh maka saya putuskan naik angkot merah bernomor 08 menuju Perempatan Gajah (Lotte Mart), dengan tarif Rp. 3500. Dari situ disambung naik becak dengan tarif Rp. 10000 sampai MAJT.
|
Etape 3 (Simpang Lima - MAJT) |
|
Masjid Agung Jawa Tengah |
Pertama kali menginjakkan kaki di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) kesan pertama saya adalah megah, angkuh dan sepi. Masjid seharga 200 milyar rupiah ini diresmikan pada tahun 2006 oleh presiden SBY. Perhatian saya langsung tertuju pada menara tinggi menjulang di komplek MAJT ini.
|
Menara Al-Husna |
Menara Al-Husna namanya, dinamakan demikian karena menara ini memiliki tinggi 99 meter. Didalamnya terdapat studio radio, museum, restoran, dan bilik pandang dilantai teratas. Pengunjung diwajibkan membayar Rp. 7000 untuk bisa naik kelantai paling atas. Pada saat saya datang museum sudah tutup, sedangkan restoran sudah tidak beroperasi lagi. Jadi saya hanya mengunjungi bilik pandang.
|
MAJT dari Menara Al-Husna |
Diatas kita dapat melihat pemandangan 360 derajat. Di utara kita dapat melihat Laut Jawa beserta Pelabuhan Tanjung Mas. Sebelah barat kita dapat melihat gedung-gedung di Kota Semarang. Sebelah selatan dapat dilihat deretan pegunungan di daerah Ungaran. Sedangkan sebelah Timur sejauh mata memandang yang terlihat adalah permadani hijau alami.
|
Kota Semaraang dari Menara Al-Husna |
|
Laut Jawa dari Menara Al-Husna |
Diatas menara angin bertiup sangat kencang, membuat saya tidak bisa berlama-lama memandangi yang semesta sajikan. Saya lalu bertolak ke bangunan utama masjid. Tidak banyak yang bisa diceritakan, selain 6 buah payung hidrolik besar yang katanya sama dengan yang ada di Masjid Nabawi di Maddinah.
|
MAJT |
Waktu semakin sore. Target saya sehabis maghrib sudah tiba di Stasiun Semarang Tawang, untuk mengejar kereta ke ibukota. Maka saya putuskan untuk berpisah dengan masjid terbesar di Jawa Tengah ini. Menuju destinasi saya selanjutnya di kota ini, Kota Lama Semarang.
|
Etape 4 (MAJT - Kota Lama) |
Jarak dari Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) ke Kota Lama yang jauh dan hari yang sudah semakin sore maka saya putuskan untuk naik angkot saja. Namun ternyata angkot dari dan ke MAJT sangat jarang, saya pun tidak mau membuang waktu, maka saya naik becak ke Kota Lama. Perjalanan sejauh 3,7 km ditempuh selama 45 menit dengan tarif Rp. 25000.
|
Gereja Blenduk |
Sampai di Kota Lama hujan ringan sudah menyambut saya. Saya turun disebuah bangunan gereja yang arsitekturnya cukup unik, Gereja Blenduk orang menyebutnya. Nama aslinya adalah Gereja GPIB Immanuel. Orang menyebut Blenduk karena kubahnya, yang mana Blenduk berarti kubah.
|
Kota Lama |
|
Kota Lama |
Hujan masih turun. Adzan magrib sebentar lagi akan berkumandang. Saya pun mempercepat langkah menyusuri Kota Lama yang mempunyai luas sekitar 31 Ha ini. Sepanjang kiri kanan jalan banyak ditemui bangunan bergaya art deco peninggalan Belanda.
|
Stasiun Semarang Tawng |
Hari semakin gelap. Adzan maghrib sudah berkumandang rupanya. Saya pun segera melangkahkan kaki menuju destinasi terakhir, Stasiun Semarang Tawang. Sebuah stasiun tua peninggalan Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang dibuka tahun 1868. Sisa waktu saya habiskan sembari menunggu kereta saya untuk pulang ke ibukota yang berangkat pukul 20.00 WIB.